› Nusantara›Batu Nisan Kuno di Jalan Tol... Penemuan batu nisan kuno yang diduga peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam di lokasi pembangunan jalan Tol Aceh perlu dikaji mendalam. Para pihak meminta pembangunan infrastruktur tanpa harus merusak bukti sejarah. KOMPAS/ZULKARNAINI Batu nisan kuno ditemukan di lokasi pembangunan jalan Tol Banda Aceh-Sigli, di Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Kamis 11/2/2021. Batu nisan tersebut diduga peninggalan masa Kesultanan Aceh Darussalam abad ke-15 dan awal abad ACEH, KOMPAS — Penemuan batu nisan kuno yang diduga peninggalan Kesultanan Aceh Darussalam di lokasi pembangunan jalan tol Aceh perlu dikaji mendalam. Para pihak meminta pembangunan infrastruktur tanpa harus merusak bukti sejarah dan batu nisan kuno ditemukan saat petugas melakukan pembersihan lahan di kawasan Gerbang Tol Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ketua Peusaba Aceh Mawardi Usman, Kamis 11/2/2021, menuturkan, nisan kuno di lokasi pembangunan jalan tol harus dilindungi. Dia berharap lokasi pembangunan jalan digeser sedikit sehingga tidak terkena batu nisan. ”Nisan ini adalah situs peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam berusia ratusan tahun,” ujar itu, Mawardi meminta kepada Hutama Karya, perusahaan pembangunan jalan tol Banda Aceh-Sigli, untuk menunda sementara pembersihan lahan. Mawardi mengajak para pihak untuk menyematkan peninggalan sejarah ini adalah situs peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam berusia ratusan tahun.”Kasus seperti ini pernah terjadi di Jawa Timur. Kemudian posisi jalan tol digeser untuk menyelamatkan situs. Seharusnya hal ini juga dilakukan di Aceh,” Juga Situs Kerajaan Aceh DitelitiMawardi mengatakan, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Kawasan Baitussalam, Kajhu, Lambada, dan sekitarnya merupakan wilayah kekuasaan kerajaan. Bahkan, Kawasan itu disebut sebagai tempat tinggal keluarga besar Tol Trans-Sumatera per 15 Oktober 2020Dihentikan sementaraManager Teknik Hutama Karya Pembangunan Jalan Tol Banda Aceh-Sigli Khrisna Aditya Yudha menuturkan, untuk sementara, pekerjaan kontruksi di lokasi itu dihentikan hingga ada keputusan bersama para pihak. Namun, tanah tersebut telah dibebaskan untuk kepentingan pembangunan jalan penemuan batu nisan dibatasi dengan garis polisi agar tidak diakses bebas oleh warga. ”Kami menunggu hasil evaluasi dari Balai Pelestarian Cagar Budaya,” kata dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh, Andi Irfan Syam, menuturkan, timnya sedang mengumpulkan data awal atau observasi. Data-data yang ditemukan di lapangan akan dikaji lebih dalam untuk menentukan kebijakan apa yang diambil.”Kami akan bekerja sama dengan pemerintah daerah mencari solusi terbaik terkait penemuan batu nisan kuno ini,” kata Juga Situs Purbakala di Tol Pandaan-Malang Dikaji Arkeolog Aceh, Tarmizi Hamid, menuturkan, penemuan situs sejarah itu sangat mengejutkan sebab selama ini tertimbun lumpur tsunami. Menurut dia, batu nisan itu peninggalan dari abad ke-15 atau awal abad ke-16 sebab bentuk batu nisan masih polos dengan ukiran HUTAMA KARYA Batu nisan kuno ditemukan di lokasi pembangunan jalan Tol Banda Aceh-Sigli, di Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, Kamis 11/2/2021. Batu nisan tersebut diduga peninggalan masa Kesultanan Aceh Darussalam abad ke-15 dan awal abad ke-16.”Dari bentuknya, batu nisan itu sebelum masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam,” ujarnya sembari menambahkan para pakar perlu diajak untuk melakukan penelitian lebih jauh terhadap batu nisan tersebut. Dia berharap situs itu diselamatkan sebab punya nilai sejarah Juga Situs Kerajaan Aceh Terancam Rusak
Menurutnya berdasarkan catatan itu ditemukan tiga buah lingga besar berhias dan angka Tahun 1386 caka. Serta ditemukan bola batu yang dibawa ke rumah residen Bondowoso pada masa lalu. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, selain di Dusun Bataan, Desa Jati Sari. Masih ada beberapa titik gumuk bata lainnya.
- Semakin hari, politik bikin manusia Indonesia bertindak aneh. Di Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, dua kuburan harus dipindahkan gara-gara keluarga jenazah berbeda pilihan caleg dengan pemilik tanah yang masih punya hubungan keluarga. Kasus ini jelas mengoyak rasa kemanusiaan dan menepikan makna penting kuburan dalam jagad kebudayaan Indonesia. Leluhur kita memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Bila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau menelurkan sinonim kuburan lebih dari lima, yakni kramatan, makaman, hastana, pasarean, dan jaratan. Sederet sinonim ini tertuang pada koran Darmo Kondo yang terbit di permulaan abad ke-20, yang saya telusuri di Perpustakaan Nasional lama lantai 8. Catatan yang lebih lawas, Babad Tanah Jawa, juga melukiskan kesakralan makam sebagai pusaka keraton "Betapa sedihnya hati saya bahwa semua pusaka telah diambil oleh putera saya raja Amangkurat Mas. Tetapi, saya tahu bahwa sekalipun semua barang pusaka yang lain pun diambil, namun kalau saja Masjid Demak dan Makam Adilangu tetap ada, maka itu sudah cukup. Hanya dua inilah yang merupakan pusaka sejati Tanah Jawa." Agama dan Makam Saking lekatnya relasi antara agama dengan makam, kakek moyang kita tak segan pula menaruh makam berdekatan dengan ruang sembahyang. Lihat saja di sekitar masjid Kota Gedhe, disemayamkan jasad para peletak dasar kerajaan Mataram Islam, yakni Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senapati, dan Sunan Seda ing Krapyak. Selain itu, dijumpai pula makam Sultan Hamengku Buwana II, Pangeran Adipati Pakualam I, serta sejumlah besar makam keluarga raja Mataram lainnya. Dalam struktur ruang Keraton Plered 1625-1677 yang didirikan Sultan Agung, Inajati Andrisijanti dalam Arkeologi Perkotaan Mataram Islam 2001 juga menemukan makam kuno di sebelah barat reruntuhan masjid. Kenyataan ini membuktikan bahwa kombinasi masjid dengan makam menandakan orang Jawa begitu menghormati jasad manusia. Sekalipun raganya sudah berkalang tanah, tapi ruhnya diyakini masih hidup dan membersamai ngemong anak-cucunya dalam menentukan garis nasib di alam nyata. Makam bayi trek-trekan yang bercokol di bekas masjid juga dirawat dengan baik. Realitas ini dapat ditemukan di Kauman, Mangkunegaran Surakarta. Kala tertentu, sebagian orang masih menziarahi makam yang berada di dalam bengkel itu. Penduduk setempat tak berani mengutak-atik, terlebih meratakannya dengan tanah. Diyakini, yang dikubur di sini ialah buah hati Gusti Mangkunegara IV. Keterangan lisan ini ternyata cocok dengan fakta yang tersurat dalam Babad Lêlampahanipun Radèn Mas Arya Gôndakusuma MN IV 1853-1881 “Kala kagungan putra kaping 14 miyos putri, seda sareng kalihan ibu, ing malem Jumuwah Kaliwon, wanci jam 3 tanggal kaping 27 wulan Sapar, ing tahun Jimakir, ongka 1778. Layonipun raden ayu wau kasareaken ing ardi Mangadeg, putrinipun wonten ing Masjid Kauman bebasnya “Ketika melahirkan anak yang ke 14, yang meninggal bersama ibunya, di malam Jumat Kliwon, pukul 3 tanggal 27 bulan Sapar, tahun Jimakir, 1778. Jenazah raden ayu disemayamkan di Ardi Mangadeg, putrinya di Masjid Kauman Ler.” Penggal informasi tersebut menjelaskan bayi yang meninggal kala lahir tidak dimakamkan di kuburan umum, melainkan tak jauh dari tempat tinggal orang tuanya. Dalam pandangan orang Jawa, bayi yang tutup usia ini dianggap masih membutuhkan “bimbingan” orang tua, sehingga tidak bisa dijauhkan dari rumah. Pertanyaannya kemudian, bagaimana strategi agar kuburan tidak hilang atau rata dengan tanah? Tempo dulu, kelompok bangsawan, priyayi, dan wong cilik belum mengenal nisan untuk menandai kuburan supaya tidak hilang, sekaligus membubuhkan nama jenazah bersangkutan. Agar kuburan tidak ditumpuk oleh orang lain maupun lenyap di kemudian hari, cukup diberi penanda batu hitam sederhana atau kijing. Perayaan ngijing alias ritual pemasangan batu dikerjakan oleh keluarga dan harus mengikuti aturan, yakni pada acara nyewu atau peringatan seribu hari meninggalnya orang yang dikubur tersebut. Jika prosesi ngijing nekat dilakukan seketika itu juga atau pada perayaan seratus hari, mereka khawatir tanah kuburan bakal jeglong mencekung lantaran jasad orang yang meninggal belum hancur dan menyatu dengan Akulturasi Kuburan juga jadi medan akulturasi yang ampuh dalam tradisi Nusantara. Nisan sebagai pelengkap kuburan di Indonesia sebenarnya hasil pengaruh dari kebudayaan orang Eropa yang datang ke Nusantara. Dalam Kamus Umum Belanda-Indonesia 2001 anggitan Wojowasito, yang dimaksud batu nisan ialah kata grafzerk “batu kubur/nisan yang dibaringkan di atas makam. Menurut Lilie Suratminto dalam Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia 2008, batu nisan ditemukan sepanjang periode VOC berada di Nusantara 1616-1799. Istilah nisan, menurut Dirk van Hinloopen Labberton 1934, seorang amtenar kolonial yang banyak meneliti tradisi Indonesia, berasal dari bahasa Arab "nisyan", yang bermakna tonggak di atas makam Islam. Setelah diusut lebih jauh dalam berbagai kamus Arab, ternyata tiada ditemukan lema nisyan. Memang tidak dikenal terminologi nisan dalam budaya Arab. Orang yang dikebumikan lazimnya tidak dikasih tanda batu nisan laiknya di Indonesia. Muncul dua penafsiran atas istilah nisan. Pertama, “nisan” merupakan turunan kata nasiya “lupa” kata kerja, sementara kata bendanya nasyanaan atau nisyaanan. Ringkasnya, biar tidak lupa pada makam yang wafat, ditaruh tanda nasyaanan nisyaanan. Tafsir kedua, lema nisan bermuasal dari kata al insan manusia’, sebab antara kata insan dan nisyaanan begitu dekat. Terdapat ungkapan dalam bahasa Arab Summiyal insanu li nisyanihi. Artinya, Dia dikatakan manusia lantaran bersifat lupa. Selarik ungkapan lainnya Al insan mahallul khatta’ wa nisyan. Kalimat tersebut memuat arti bahwa manusia itu memiliki kecenderungan salah dan lupa. Infografik Makam Bila kita cermati, tampaknya tafsir terakhir lebih mendekati kebenaran, yakni kata “nisan” bermula dari kata insan, lantas berubah menjadi “nisan”. Perubahan itu diduga kuat lantaran adanya gejala bahasa metatesis, yaitu perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata dalam kata. Semisal, riwa-riwi bersalin menjadi wira-wiri, dan rontal bersalin lontar. Demikian pula sangat mungkin perubahan letak i dan n dalam insan dan nisan. Dari kilas balik ini, kita disadarkan bahwa kuburan komplit dengan nisan maupun kijing bukan sekadar penanda identitas dan status sosial orang yang dikubur, tapi juga bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang telah meninggal. Sepanjang sejarah, kuburan hampir tidak pernah dikorbankan dalam jagat politik dan dirusak. Banyak orang takut kualat jika bertindak demikian. Makam justru dirawat melalui tradisi budaya nyadran yang mewarisi sisa kepercayaan animisme-dinamisme. Ringkasnya, ritual nyadran bukanlah ajang hura-hura atau berbau klenik, namun mengingatkan akan kematian dan memosisikan kuburan sebagai bukti sejarah. Di samping berpotensi untuk obyek wisata religi, kuburan dan batu nisan mampu meronce tali sejarah keluarga agar tidak terhapus dalam ingatan generasi sesudahnya. Barangkali hanya di Indonesia, kuburan masih saja kena imbas perpecahan politik.==========Heri Priyatmoko adalah dosen sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan pendiri Solo Societeit. - Sosial Budaya Penulis Heri PriyatmokoEditor Ivan Aulia Ahsan
ContohSoal Pilgan Tentang Peninggalan Kerajaan Islam Indonesia 1. Benteng Somba Opu merupakan peninggalan A. Kerajaan Samudera Pasai B. Kerajaan Banten C. Kerajaan Mataram Berdasarkan batu nisan kuno yang ditemukan di Indonesia diperkirakan agama Islam dibawa masuk oleh pedagang dari. A. Arab B. Persia C. Gujarat D. Turki Jakarta - Kerajaan Samudera Pasai atau dikenal dengan Kesultanan Pasai adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Salah satu bukti peninggalan bercorak Islam dari kesultanan Samudra Pasai yaitu ditemukannya makam Sultan Malik Islam ini terletak di Aceh. Jika dilihat di zaman sekarang, lokasinya terletak di wilayah utara Provinsi Aceh tepatnya di sekitar kota Lhokseumawe. Kerajaan ini berada di posisi strategis, mengingat Selat Malaka kala itu menjadi jalur perdagangan internasional Kerajaan Samudera Pasai banyak diceritakan dalam Hikayat Raja-Raja Pasai dan catatan perjalanan Ibnu Batutah. Keduanya menjadi sumber rujukan yang cukup gamblang menjelaskan bukti-bukti peninggalan dari kerajaan terkuat yang menunjukkan eksistenti Kerajaan Samudera Pasai di Nusantara adalah batu nisan milik Sultan Malik al-Saleh. Malik al-Saleh adalah raja pertama kerajaan tersebut. Dalam buku Seri IPS Sejarah karya Prawoto disebutkan, Malik al-Saleh merupakan seorang pengembara yang kemudian mendirikan kerajaan di tanah Hikayat Raja-Raja Pasai, Malik al-Saleh awalnya diketahui bernama Meurah Silu. 'Meurah' merupakan gelar bangsawan di Sumatera Utara, sedangkan 'Silu' diduga berasal dari pertemuannya dengan Syekh Ismail, utusan dari Syarif Mekah yang kemudian memberikan gelar Malik Samudera Pasai menjadi tempat perkumpulan para saudagar-saudagar Islam dari Gujarat, Persia, China, dan Arab. Sumber sejarah memprakirakan kerajaan ini sudah bersentuhan dengan Islam sejak abad ke-8 dan akhir abad ke-13 sudah menjadi kerajaan bercorak Raja Kerajaan Samudera PasaiPasca kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh, kerajaan kemudian dipimpin oleh putranya, Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Zahir. Dia memerintah sekitar tahun 1297-1326 dan berhasil membawa perkembangan pesat bagi daftar raja-raja yang pernah bertahta di Kerajaan Samudera Pasai1. Sultan Malikul Saleh2. Sultan Muhammad Malikul Zahir3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir4. Sultan Malik Az-Zahir5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir7. Sultanah Nahrasiyah8. Sultan Sallah Ad-Din9. Sultan Abu Zaid Malik Mahmud Malik Zain Al-' Abdullah Malik Zain Al'AbidinRuntuhnya Kerajaan Samudera PasaiKerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Sultan Zain Al'Abidin Zainulabidin sekitar tahun 1521. Salah satu penyebabnya akibat perpecahan antara kaum bangsawan yang saling berebut lain menyebutkan, runtuhnya kerajaan ini disebabkan oleh serangan Portugis yang iri karena pesatnya Kerajaan Samudera Pasai. Akibat angkatan perang yang tak imbang, akhirnya Portugis berhasil menaklukkan kerajaan bercorak Islam kondisi yang semakin melemah, Sultan Ali Mughayat Syah yang merupakan raja Kerajaan Aceh Darussalam, memanfaatkan peluang tersebut. Ia kemudian mengambil alih kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai dan akhirnya masuk ke Kerajaan Aceh Darussalam. Simak Video "Gaya Jokowi Kenakan Pakaian Kesultanan Deli di Upacara Harlah Pancasila" [GambasVideo 20detik] kri/lusMIQOTVol. XXXVI No. 1 Januari-Juni 2012 ISLAMISASI DI SUMATERA UTARA: Studi Tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus Suprayitno Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya USU Jl. Universitas No. 19 Kampus USU, Medan 20155 e-mail: praitno@ Manakala membicarakan tentang proses islamisasi di Indonesia, para ahli akan